Pages

Senin, 13 Februari 2012
Di era globalisasi dan seiring maraknya ragam gaya hidup Barat yang masuk ke dunia Islam, menyebabkan banyak remaja muslim di berbagai belahan dunia tak mampu berkutik dibuatnya. Gaya hidup Barat yang tak lepas dari kesan glamor dan konsumtif, wujud cerminan modernitas tersebut, mampu menggoncang peradaban Islam. Terutama para remaja muda-mudi.

Salah satu budaya Barat yang merasuki remaja muslim, hingga dijadikan trendsetter, tersebut ialah sebuah perayaan yang jatuh pada tanggal 14 Februari bernama ”Valentine’s day” atau “Hari Kasih Sayang”.
Valentine’s Day dimaknai dengan kasih sayang atau hari di mana pasangan kekasih, muda-mudi Barat, yang sedang jatuh cinta mengungkapkan rasa kasih sayang mereka kepada pasangan masing-masing. Umumnya diekspresikan dengan saling bertukar kado, cokelat, dan bunga mawar. Bahkan, yang lebih populer, dengan bertukar kartu valentine berbentuk hati (love), yang dihiasi sebuah gambar "Copidu" (si bayi kecil bersayap dengan busur lengkap dan anak panah di tangan).

Jika kita mau menilik lebih jauh tentang asal muasal perayaan Valentine’s Day, akan kita temukan berbagai versi di dalamnya. Hal tersebut membuktikan bahwa perayaan Valentine’s Day memiliki latar belakang yang tidak jelas sama sekali. Bahkan, bisa dikatakan hanya berasal dari sebuah mitos belaka dengan merujuk seorang martir bernama Valentinus atau Santo Valentinus. Santo Valentinus meninggal pada 14 Februari yang kemudian oleh Paus Gelasius I dijadikan hari perayaan bagi kaum Nasrani.

Namun, tabiat muda-mudi yang selalu latah akan kebudayaan Barat, yang jauh dari syariat Islam, Valentine’s Day selalu menjadi momen tersendiri bagi mereka setiap tahunnya. Dari sekedar mengucapkan "selamat", hingga ikut langsung melakoni hal serupa seperti yang dilakukan "orang Barat".
Hal-hal tersebut terjadi karena sebagian remaja atau muda-mudi muslim telah menganggap yang "satu" ini sebagai trend masa kini. Sehingga, bagi yang tidak ikut merayakan, bisa dianggap kuno, ketinggalan zaman, atau kampungan (wong ndeso). Sebagian orang ada yang hanya ikut-ikutan, tanpa mengetahui story behind perayaan tersebut. Namun, tidak sedikit pula sebagian mereka sebenarnya mengetahui kalau Valentine’s Day merupakan budaya non muslim, tapi karena alasan gengsi (jika tidak ikut merayakan) mereka pun akhirnya tidak mau tahu.

Islam sangat melarang umatnya dari sikap tasyabuh (menyerupai budaya atau gaya hidup non muslim), baik dari segi ucapan, tingkah laku, maupun cara bermode.
Firman Allah dalam Surat Al-Isra’, "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (Al-Isra’:36)
Kemudian dalam Surat Al-An’am, ”Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di Bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan." (Al-An’am:116)

Serta sabda Nabi Saw, ” Barang siapa meniru suatu kaum, dia termasuk kelompok mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sangat  jelas di muka, bahwa hari Valentine merupakan perayaan atau ritual non muslim. Jika kita ikut merayakannya, berarti kita telah meniru-niru mereka.
Selain tasyabuh, dalam perayaan Valentine’s Day, jika kita saksikan sekarang ini merupakan cara pengekspresian cinta kasih yang dibaluti dengan fenomena pacaran, zina, mabuk-mabukan, serta foya-foya, yang intinya terlalu mengedepankan nafsu syahwat semata. Cara mengekspresikan cinta kasih inilah yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, jika kita memandang perayaan ini melalui perspektif Islam.
Sungguh merupakan sebuah kekurangcerdasan, jika kita sebagai generasi Islam ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan histori, emosional, dan religius sedikitpun dengan ajaran Islam. Keikutsertaan kita dalam perayaan yang identik dengan hura-hura dan maksiat ini merupakan refleksi sebuah kekalahan dalam "peperangan" mempertahankan identitas jati diri kita sebagai pemeluk Islam.
Sebagai generasi muda muslim, selain kita dituntut melek teknologi dan ilmu pengetahuan, kita juga dituntut mampu memfilterisasi diri serta lingkungan atau budaya kita dari integritas budaya asing. Jangan mudah terbawa arus deras modernisasi yang cenderung menyesatkan. Jangan sampai kita sebagai umat Islam hanya bagai buih di lautan, banyak namun mudah terombang-ambing, banyak namun tak memilki arti.
Hal semestinya yang harus kita lakukan wahai saudaraku, adalah kembali merapatkan jiwa dan kesadaran kita masing-masing ke dasar ajaran agama kita. Kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Mendekatkan diri kepada Allah, serta membekali diri ini dengan tembok pengetahuan agama yang mumpuni. Tanpa mengabaikan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai generasi Islam, kita harus berusaha sekuat yang kita mampu untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan kita di masyarakat, dalam muamalah sehari-hari. Agar ruh ajaran Islam tak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing yang terbukti hanya menimbulkan keresahan dalam masyarakat muslim.

Semoga kita semua diberikan kemampuan untuk meninggikan kalimat Allah di medan perjuangan yang semakin hari semakin kompleks ini. Sesuai dengan background kita masing-masing. Amin yaa robbal ‘alamin.


Herdiansyah el-Amdah Ihsan

Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Islam, Universitas Hassan Tsani
Mohammedia, Casablanca, Maroko

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Followers